Selasa, 29 Maret 2011

KAJIAN STILISTIKA NOVEL OLENKA

KAJIAN STILISTIKA NOVEL OLENKA KARYA BUDI DARMA DAN DIMENSI FILSAFATNYA


Oleh:
ENDAH TRI UTAMI



A.      Pendahuluan
              Sastra merupakan hasil karya kreatif manusia yang diekspresikan melalui tulisan dengan bahasa yang indah, sehingga mempunyai nilai estetis yang dapat menarik pembaca untuk menikmatinya. Karya sastra lahir dari ekspresi jiwa, pengalaman hidup manusia, pengalaman batiniah, maupun pengalaman estetik pengarang.
Hasil kreativitas pengarang melahirkan suatu karya seni yang berupa karya sastra. Di dalam karya sastra terdapat style, ‘gaya bahasa’ yang digunakan oleh setiap pengarang dalam menuangkan, mengungkapkan segala gagasan, pengalaman. Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra memberikan efek estetik dan penciptaan makna sehingga karya tersebut menjadi menarik. Style, ‘gaya bahasa’ menjadi ciri khas dari seorang pengarang dalam melahirkan karyanya. Dalam kajian ini, penulis akan mengkaji style, ‘gaya bahasa’ sebuah novel karya Budi Darma yang berjudul “Olenka”.
Penulis mengambil novel Olenka karya Budi Darma, karena penulis tertarik dengan stylegaya bahasa’ dalam novel tersebut. Style dalam novel Olenka bervariasi dengan latar yang berada di luar negeri mendukung penciptaan makna dalam novel tersebut.  Oleh karena itu, dalam mengkaji style, ‘gaya bahasa’ novel Olenka, penulis menggunakan kajian stilistika. Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif (Al-Ma’ruf, 2009: 12).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah: 1) Bagaimana stilistika novel Olenka karya Budi Darma yang meliputi gaya kata, gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif, dan citraan; 2) Bagaimana makna dimensi filsafat  dalam novel Olenka karya Budi Darma.
Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk: 1) Mendeskripsikan stilistika novel Olenka yang meliputi gaya kata, gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif, dan citraan; 2) Mengungkapkan makna dimensi filsafat dalam novel Olenka karya Budi Darma.

B.     Kajian Teoretis
Style yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri—gaya pribadi (Satoto, 1995:36). Jadi, style merupakan cara pemakaian bahasa yang khas oleh pengarang untuk mengungkapkan gagasan, pengalaman.
Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif (Al-Ma’ruf, 2009: 12).
Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Semi, 1988: 30).
Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang (Kridalaksana, 1988: 35 dalam Al-Ma’ruf, 2009:50).
Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inversi, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Demikian pula karakteristik, panjang-pendek, struktur, dan proporsi sederhana-majemuknya termasuk gaya kalimat (Al-Ma’ruf, 2009: 57).
Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi (Al-Ma’ruf, 2009: 58).
Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (Al-Ma’ruf, 2009: 60).
Citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu (Sayuti, 2000: 174 dalam Al-Ma’ruf, 2009: 76).
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral, dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (Ismaun dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/08/pengertian-filsafat/).

C.     Stilistika Novel Olenka dan Dimensi Filsafatnya
Kajian Stilistika novel Olenka ini meliputi kajian dalam gaya kata (diksi), gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif, dan citraan.
1.      Gaya Kata (diksi)
Diksi dalam novel Olenka bervariasi. Di dalam novel Olenka didominasi oleh kata konotatif, kemudian kata dengan objek alam, kata bahasa Jawa, kata bahasa asing, kata serapan dari bahasa Jawa, kata sapaan dan nama diri, serta kata vulgar.
Beberapa contoh diksi dalam novel Olenka, antara lain:
a.      Dalam setiap pertemuan, baik dia maupun saya tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak menjadi binatang. (hlm. 47).
Pada data di atas, kata binatang menggambarkan perbuatan Olenka dan Fanton yang seperti binatang, melakukan hubungan intim yang terlarang, tidak peduli dengan tempat, situasi maupun keadaan. Tingkah laku binatang digambarkan tidak tahu tempat, sembarangan, tidak tahu malu. Dalam hal ini pembaca akan memperoleh kesan lebih dalam sehingga dapat membayangkan lebih jelas perbuatan Olenka dan Fanton.
b.      Latar belakang Budi Darma yang merupakan keturunan orang Jawa dan lahir di Jawa mendorong munculnya peyisipan kata, frase dalam novel tersebut.
1)      Entah mengapa saya bertanya, “Apakah mereka bukan anak sampean?” (hlm. 4).
Pada data di atas, pengarang memanfaatkan sebutan atau panggilan sapaan untuk orang lain dalam bahasa Jawa. Kata sampean merupakan bentuk sapaan untuk orang yang sebaya agar lebih menghormati, bisa juga digunakan untuk sapaan pada orang yang belum dikenal.
2)      Lebih kurang sepuluh hari yang lalu, katanya, ibu mereka minggat tanpa sebab. (hlm. 5).
Kata minggat adalah suatu pernyataan bahasa Jawa yang berarti pergi tanpa pamit.


c.      Ada pula penggunaan kata vulgar
Nadanya kosong, tetapi saya merasakan sakit hati mendengar istilah “perempuan pelancongan”, seolah-olah tanpa sadar dia menuduh Olenka sebagai sundal. (hlm. 84).
Pada data di atas, terlihat penggambaran sosok Olenka sebagai sundal oleh Wayne. Kata sundal yang berarti perempuan murahan atau pelacur, digunakan pengarang untuk menimbulkan makna tertentu.

2.      Gaya Kalimat
Di dalam novel Olenka, pengarang menggunakan gaya kalimat yang bervariasi. Ada penggunaan kalimat langsung, kalimat majemuk, kalimat sederhana yang hanya terdiri dari satu kalimat, susunan kalimat ada yang panjang. Dalam novel ini, pengarang juga menggunakan banyak kalimat dalam bahasa asing yang mengutip dari berbagai sumber. Pengarang mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia maupun penjelasannya yang diletakkan di dalam tanda kurung maupun pada kalimat berikutnya.
Selain itu, pengarang juga mengemas novel tersebut dengn kalimat-kalimat yang menyisipkan kisah, pemikiran, dan renungan para tokoh filsafat, penyair, penulis, dan pelukis sehingga pembaca dituntut untuk berpikir dan merenung mendalam dalam membaca novel tersebut.
Beberapa contoh gaya kalimat dalam novel ini, antara lain:
a.      Penggunaan kalimat langsung:
“Apakah sampean pernah ke Chicago, Fanton?”
“Tidak”.
“Ke Rockfield negara bagian Illinois, Fanton Drrummond?”
“Tidak”.
“Ke Peoria negara bagian Illinois, Fanton?”
“Tidak”.
“Ke Springfield negara bagian Illinois, Drummond Fanton?”
“Tidak”. (hlm. 27).
b.      Penggunaan kalimat dari bahasa Inggris:
Seperti yang dikatakan John Donne, “this cannot be said a sin, nor shame”. Kita tidak dapat menganggap percampuran darah sebagai dosa ataupun memalukan, demikianlah kata John Donne. (hlm. 75).
3.      Gaya Wacana
Gaya wacana dalam novel Olenka sebagian besar dengan memanfaatkan sarana retorika yaitu repetisi. Beberapa contoh gaya wacana repetisi dalam novel Olenka, antara lain:
a.      Saya juga sering merasa dia lari menyeberangi padang rumput atau melompat dari satu pohon ke pohon lain. Kadang-kadang saya juga merasa dia menarik baju saya, menjewer kuping saya, atau mendenguskan napas di belakang leher saya. Bahkan, kadang-kadang saya merasa dia menyelinap di bawah selimut saya, sambil menggelitik saya. Kalau saya bangun, dia lari sambil member pertanda supaya saya mengejar. (hlm. 6).
Pada data di atas terdapat klausa yang diulang-ulang. Hal ini untuk menegaskan tentang perasaan yang dirasakan oleh Fanton Drummond setelah bertemu dengan Olenka.
b.      Kali ini saya meninju hidungnya. Dia terpelanting lagi. Setelah membersihkan darah dari hidungnya, dia bangkit lagi. Sikapnya menunjukkan keinginannya untuk saya tinju lagi. Maka saya meninju dagunya. Di terpelanting lagi. Darah dari mulutnya keluar lebih banyak. Di membersihkan darah tersebut sebentar, kemudian bangkit lagi. Matanya seolah-olah berkata, “Kalau sampean berani, silakan tinju lagi!” Lalu saya meninju hidungnya. Dia terpelanting lagi. Setelah mengusap darah dari hidungnya, dia bangkit lagi. Kali ini saya meninju mulutnya. (hlm. 104).
Pada data di atas, terdapat kalimat yang diulang-ulang. Hal ini untuk menegaskan bahwa Wayne tidak berdaya tetapi juga menantang saat Fanton meninjunya berkali-kali.

4.      Bahasa Figuratif
Di dalam novel Olenka, pengarang memanfaatkan bahasa figurative yang bervariasi. Adapun bahasa figuratif yang digunakan oleh pengarang yaitu majas, idiom, dan peribahasa.
a.      Majas
Beberapa majas yang digunakan oleh pengarang dalam novel Olenka yaitu majas antiklimaks, simile, personifikasi, polisindenton, hiperbola, retorik, repetisi. Berikut beberapa contohnya.
1)      Majas Antiklimaks
Dia juga berada di lift bersama tiga anak jembel, masing-masing berumur lebih kurang enam, lima, dan empat tahun. (hlm. 4).
Pada data di atas, dijelaskan oleh pengarang mengenai umur tiga anak jembel yang dilihatnya di lift. Umur ketiga anak jembel dijelaskan oleh pengarang secara berturut-turut, semakin lama semakin rendah tingkatannya yaitu enam, lima, dan empat tahun.
2)      Majas Simile
Kadang-kadang saya ingin memperlakukan tubuhnya seperti sebuah peta. (hlm. 20).
Pada data di atas, dijelaskan oleh pengarang mengenai keinginan Fanton memperlakukan tubuh Olenka seperti peta. Peta menunjukkan berbagai tempat, lokasi, kota, negara yang dapat ditelusuri bagian-bagiannya. Dalam hal ini tubuh Olenka dibandingkan seperti peta yang dapat diteliti dan ditelusuri bagian-bagiannya.
3)      Majas Personifikasi
Sebuah lukisan yang sangat sederhana, tetapi menyiratkan proses keseluruhan tumbangnya pohon dan luka-luka yang diderita oleh jembatan. (hlm. 25).
Pada data di atas, pengarang memaparkan tentang jembatan yang menderita luka-luka. Secara logika yang bisa merasakan luka-luka adalah manusia. Penagarang memaparkan hal itu agar cerita tersebut lebih hidup.
4)      Majas Polisindenton
Dia berdiri, kemudian lari menuju jembatan, meneliti jembatan sebentar, berjalan hilir mudik beberapa kali, kemudian kembali lagi. (hlm. 25).
Pada data di atas terdapat kata penghubung yang dipakai pada hal atau keadaan secara berturut-turut. Hal ini untuk menegaskan tentang apa yang dilakukan Olenka secara berturut-turut.
5)      Majas Hiperbola
Pada suatu hari setelah untuk kesekian kalinya melihat Wayne, saya pulang dengan hati terbakar. (hlm. 78).
Pada data di atas, dijelaskan oleh pengarang mengenai keadaan hati Fanton yang terbakar oleh amarah. Dalam hal ini berarti sakit, perih, marah.
6)      Majas Retorik
Bukankah nanti pada saatnya sampean merasa bahwa sampean tidak diperlukan lagi oleh mereka, dan akhirnya merasa kehilangan mereka? (hlm. 96).
Pada data di atas, pengarang memunculkan pertanyaan mengenai perasaan Fanton kelak jika tidak diperlukan dan kehilangan anak-anaknya, yang jelas-jelas akan dirasakannya.
7)      Majas Repetisi
Kalau dapat melakukannya demikian, saya akan menggulungnya, kemudian membukanya di atas ranjang, atau di atas meja, atau di atas lantai, atau di atas rerumputan. (hlm. 20).
Pada data di atas, terdapat kata atau yang diulang-ulang. Hal ini untuk menegaskan bahwa Fanton dapat memperlakukan Olenka di mana saja.
b.      Idiom
Di dalam novel Olenka, pengarang memanfaatkan idiom untuk mengungkapkan makna tertentu. Contoh beberapa idiom yang digunakan oleh pengarang sebagai berikut.
1)                                                                                       Dia selalu tampak merasa rendah diri, kurang berani berhadapan dengan siapa pun, dan tampak mencuri-curi kalau akan melihat sesuatu. (hlm. 8).
Pada data di atas, terdapat frase rendah diri adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan sifat seseorang yang berarti malu, tidak percaya diri. Pengarang menggambarkan penampilan fisik dan tingkah laku Wayne yang menunjukkan sifat rendah diri.
2)      Makin bersungguh-sungguh saya mendengarkannya, makin tampak kecurigaannya bahwa saya hanya pura-pura mendengarkannya dan menganggap omongannya sebagai isapan jempol. (hlm. 11).
Pada data di atas, terdapat frase isapan jempol adalah ungkapan yang berarti perkataannya hanya omong kosong, bohong belaka. Pengarang menggambarkan perkataan Wayne dianggap oleh Fanton hanya bohong belaka.
c.      Peribahasa
Di dalam novel Olenka juga terdapat peribahasa. Pengarang menggunakan peribahasa untuk menciptakan makna yang mendalam dalam ceritanya. Berikut salah satu peribahasa yang terdapat dalam novel Olenka.
Ketergantungannya bukannya sebagai anak terhadap ayah atau binatang terhadap pawang tetapi anak buta terhadap tongkatnya. (hlm. 67).
Pada data di atas, terdapat peribahasa anak buta terhadap tongkatnya yang berarti hilang akal, tak tentu apa yang akan diperbuat. Dalam hal ini pengarang menggambarkan bagaimana sikap Steven yang tergantung pada Wayne karena ia mengalami kelainan atau gangguan, bisa juga keterbelakangan.

5.      Citraan
Di dalam novel Olenka, terdapat pula citraan. Citraan yang digunakan pengarang bervariasi. Adapun citraan tersebut yaitu citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, pencecapan, gerakan, serta intelektual. Beberapa contoh citraan dalam novel Olenka sebagai berikut.
1)      Citraan Penglihatan
Orang ini jangkung dan agak botak. (hlm. 8).
Pada data di atas terlihat gambaran mengenai ciri atau sosok Wayne. Pembaca seolah-olah melihat sosok Wayne yang mempunyai tubuh jangkung dan kepala agak botak.
2)      Citraan pendengaran
Kepak-kepak sayap mereka indah bunyinya. (hlm. 97).
Pada data di atas, terdapat kata yang menggambarkan suatu bunyi yang dapat di dengar yang berasal dari kepak-kepak sayap. Bunyi yang ditimbulkan dari kepak-kepak sayap itu terdengar indah.
3)      Citraan Penciuman
Sementara, bau daun berguguran melesat dari pekarangan melalui jendela. (hlm. 201).
Pada data di atas, terdapat kata bau yang menggambarkan indera penciuman. Pengarang menggambarkan Fanton yang mencium bau daun yang masuk ke dalam rumah. Bau daun berguguran merupakan bau daun yang kering, layu, mati yang menumpuk sehingga menimbulkan bau.
4)      Citraan Perabaan
Katanya tangan saya hangat, nikmat, dan menyengat. (hlm. 39).
Pada data di atas, digambarkan adanya citra perabaan. Olenka yang merasakan tangan Fanton hangat, nikmat dan menyengat. Dalam hal ini pembaca seperti merasakan tangan yang hangat, nikmat dan menyengat.
5)      Citraan Pencecapan
Saya menyesal mengapa saya pernah membiarkan dia mengunyah bibir saya, dan melahap kuping saya. (hlm. 234).
Pada data di atas, terlihat adanya citra pencecapan. Pembaca seperti merasakan bibir dikunyah, dan kuping dilahap pada tokoh Fanton.
6)      Citraan Gerakan
Kalau dapat melakukannya demikian, saya akan menggulungnya, kemudian membukanya di atas ranjang, atau di atas meja, atau di atas lantai, atau di atas rerumputan. (hlm. 20).
Pada data di atas, digambarkan mengenai gerak sehingga pembaca seperti merasakan gerakan menggulung, membuka tubuh Olenka.
7)      Citraan Intelektual
“Objek harus merupakan proses bergerak dan proses perhubungan dengan segala sesuatu disekitarnya,”katanya. (hlm. 26).
Pada data di atas, terlihat penggambaran bahwa suatu  objek terlihat dari aktivitas gerak yang dihubungkan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini pengarang menghidupkan dan membangkitkan imajinasi pembaca sehingga intelektualitas pembaca terangsang dan timbul asosiasi-asosiasi pemikiran dalam dirinya.

Di dalam novel Olenka, keseluruhan kisah dikemas oleh pengarang dengan lebih banyak menyuarakan rentetan pemikiran tokoh bernama Fanton Drummond. Fanton dikisahkan terus berada dalam kebimbangan, penuh ketidakpastian yang terus berusaha mencari jati dirinya, berusaha menemukan eksistensinya. Selain itu, juga terdapat pemikiran-pemikiran dari tokoh Olenka. Rentetan pemikiran tokoh Fanton dan Olenka ini dikaitkan dan didukung dengan adanya kisah, pemikiran, dan renungan para tokoh filsafat, penyair, penulis dan pelukis.
Di dalam novel ini, terdapat cukup banyak kutipan yang diambil oleh pengarang dari para tokoh filsafat, dengan didukung adanya catatan kaki di halaman terakhir novel ini. Kisah dalam novel ini juga didukung adanya berbagai potongan surat kabar yang dijadikan ilustrasi dengan diberi keterangan. Berikut contohnya.
Seperti Roquentin, yang dengan terang-terangan menyatakan, “Je n’avais pas le droit d’exister”, saya tidak mempunyai hak untuk ada. Tidak seharusnya alam semsta memiliki saya sebagai benda yang berada di dalamnya. Akan tetapi, sekaligus saya juga berpendapat, saya tidak mempunyai hak untuk meniadakan diri saya. Saya sudah terlanjur ada tanpa saya minta, dan bukan sayalah yang mempunyai hak untuk meniadakan diri saya. (hlm. 232).

D.     Simpulan
Stilistika novel Olenka memiliki gaya diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan yang kaya dan variatif. Gaya diksi memanfaatkan kata konotatif, kata dengan objek alam, kata bahasa Jawa, kata bahasa asing, kata serapan dari bahasa Jawa, kata sapaan dan nama diri, serta kata vulgar. Gaya kalimat memanfaatkan kalimat langsung, kalimat majemuk, serta kalimat dalam bahasa asing yang dikutip dari berbagai sumber. Gaya wacana memanfaatkan sarana retorika repetisi. Bahasa figuratif memanfaatkan beberapa majas, idiom, dan peribahasa. Di dalam novel Olenka mengandung dimensi filsafat. Dalam hal ini, keseluruhan kisah dikemas oleh pengarang dengan lebih banyak menyuarakan rentetan pemikiran tokoh yang berhubungan erat dengan konsep eksistensialisme.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakrabooks.
Darma, Budi. 2009. Olenka. Jakarta: PT. Balai Pustaka.
Ismaun. “Pengertian Filsafat”. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/08/pengertian-filsafat/. Diakses tanggal 10 Juli 2010.
Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Penerbit Angkasa Raya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar