Selasa, 29 Maret 2011

Kumpulan resensi novel

Judul buku : Harimau! Harimau!
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun terbit : 1975
Tebal buku : 220 halaman

Harimau! Harimau! adalah novel yang berhasil mendapat hadiah sebagai novel terbaik tahun 1975 yang diberikan oleh Yayasan Buku Utama Depdikbud. Novel ini cukup mendapat tanggapan yang positif dari beberapa pengamat sastra Indonesia. Novel Harimau! Harimau! juga diterjemahkan ke dalam bahasa Cina dan dijadikan sebagai pelajaran sastra di berbagai Universitas Tiongkok.
Novel ini mengisahkan tujuh orang pendamar di hutan damar di daerah Sumatra. Mereka adalah Pak Haji Rahmad, Buyung, Sanip, Talib, Pak Balam, Sutan, dan Wak Katok yang merupakan pemimpin rombongan karena ia seorang guru silat dan memiliki mantera.
Di hutan mereka menginap di gubug Wak Hitam, seorang ahli ilmu gaib dan sihir. Wak Hitam sering tinggal di gubug peristirahatannya itu bersama Siti Rubiyah, istri keempatnya yang muda belia. Melihat istri Wak Hitam, banyak pendamar tergoda oleh kecantikannya. Pada suatu hari ketika Siti Rubiyah sedang mandi di sungai, Wak Katok mengintipnya dan berusaha menyeretnya ke semak. Buyung yang sudah punya tunangan pun jatuh cinta pada Siti Rubiyah. Siti Rubiyah yang menderita hidup dengan Wak Hitam menyambut cinta Buyung. Mereka menjalin hubungan mesra.
Suatu hari dalam perburuannya para pendamar mendapat seekor rusa yang sebenarnya sudah diincar harimau tua. Karena mangsanya diambil, harimau itu marah. Pada hari berikutnya, harimau itu menerkam Pak Balam hingga terluka parah. Merasa ajal telah dekat, Pak Balam berpendapat bahwa harimau itu adalah utusan Tuhan untuk membalas dosa yang telah diperbuat, maka ia pun mengakui dosa karena telah membiarkan Wak Katok merampok, membunuh, dan memperkosa. Pendapat Pak Balam ini menimbulkan konflik diantara para pendamar. Satu pihak menuntut agar masing-masing orang mengaku dan bertobat atas dosa-dosanya, pihak lain tidak mau karena dosa adalah tanggung jawab pribadi masing-masing.
Giliran berikutnya, Talib diterkam harimau dan meninggal. Maka mereka pun memutuskan untuk memburu harimau itu. Ketika bertemu dengan harimau buruannya, Wak Katok yang membawa senjata dan memiliki mantera ternyata tidak dapat berbuat apa-apa. Dari peristiwa ini terungkap bahwa Wak Katok adalah pengecut dan penipu. Merasa rahasianya telah terbongkar, Wak Katok berencana membunuh teman-temannya. Diantara mereka terjadilah perseteruan memperebutkan senjata. Pak Haji Rahmad tertembak dan meninggal. Namun, Wak Katok dapat dilumpuhkan lalu diikat untuk umpan harimau. ketika harimau datang hendak memangsa Wak Katok, Buyung segera menembaknya tepat dikepala, dan harimau itu pun tersungkur.
Buyung sadar bahwa untuk keselamatan bersama, kezaliman, kemunafikan dan egoisme, harus dihilangkan, Buyung merasa lega karena telah terbebas dari cengkeraman tahayul dan mantera serta jimat palsu. Buyung dan Sanip segera meninggalkan hutan damar itu dan menyerahkan Wak Katok kepada polisi karena ia telah membunuh Pak Haji Rahmad, dan berbuat kejahatan-kejahatan lain yang terungkap selama dalam cekaman maut oleh harimau.
Makna yang dapat diambil adalah tentang kehidupan masyarakat perkampungan yang menggantungkan hidupnya dengan mencari damar dan berburu rusa di hutan. Hidupnya di hutan yang di dalam hutan tersebut terdapat binatang buas yaitu harimau milik Wak Hitam. Harimau tersebut mengambil nyawa Pak Balam tetapi ketika harimau itu hampir mengambil nyawa Pak Balam, ia sadar atas dosa-dosanya yang dilakukan pada masa hidupnya. Begitu juga dengan teman-temannya.
Dilihat dari aspek moral, novel ini menceritakan perilaku tokoh yang tidak baik, salah satunya lewat tokoh Wak Katok yang suka mencuri, merampok, membunuh, dan memperkosa. Selain itu, dilihat dari aspek religi menceritakan masih adanya kepercayaan terhadap jimat, ilmu ghaib, mantra, dan sihir.

Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 1982
Tebal Buku : 400 halaman

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel bagian dari trilogi cerita tentang Ronggeng di Dukuh Paruk. Novel kedua berjudul Lintang Kemukus Dini Hari dan yang ketiga berjudul Jantera Bianglala.
Novel ini mengisahkan di Dukuh Paruk seorang gadis yatim piatu yang berusia 11 tahun dinobatkan menjadi Ronggeng, namanya adalah Srintil. Mendengar berita bahwa Dukuh Paruk sudah menemukan seorang ronggeng yang mampu membangkitkan kembali Dukuh Paruk yang mati, seluruh penduduk menyambutnya dengan gembira. Karena dengan adanya ronggeng tersebut citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng akan bangkit lagi.
Beberapa hari kemudian Srintil menari pertama kali di depan penonton dari segala penjuru. Uang pun berlimpah diatas panggung ronggeng Srintil. Suasana damai dan gembira melingkupi para pesaing yang memperebutkan ronggeng Srintil. Orang yang merasa paling bahagia dengan dinobatkannya Srintil menjadi seorang ronggeng adalah kakek dan neneknya. Mereka marasa usaha mengasuh Srintil tidak sia-sia. Mereka berhasil menjadikan Srintil sebagai seorang ronggeng dan sudah direstui oleh keramat dukuh ronggeng Ki Secamenggala.
Namun, seorang pemuda bernama Rasus sangat kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk. Ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Ia beranggapan bila Srintil menjadi ronggeng, berarti Srintil menjadi milik semua orang. Semua orang akan bebas meniduri Srintil karena memang itulah kehidupan seorang ronggeng sejak dulu.
Untuk menjadi seorang ronggeng, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada orang yang telah ditentukan oleh sang dukun ronggeng yaitu Ki Kertareja. Rasus sudah mengetahui bahwa pemuda Dower dan Sulam-lah yang akan mendapatkan keperawanan Srintil pertama kali. Karena kedua pemuda itu telah memenangkan sayembara yang telah ditentukan oleh dukun Ki Kertareja. Sulam sudah menyerahkan seringgit uang emas dan pemuda Dower menyerahkan seekor kerbau dan dua rupiah uang perak kepada Ki Kertareja.
Pada suatu malam yang sudah ditentukan, Srintil pun dibawa ke makam Ki Secamenggala, kemudian ia dimandikan di depan makam itu. Setelah dimandikan, ia akan menjalankan tahap selanjutnya yaitu menjadi budak kelambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kapada kedua pemuda yang telah memenangkan sayembara itu. Pada malam itu, kedua pemuda itu malah bertengkar dan saling memperebutkan giliran yang pertama berhak meniduri Srintil. Pertengkaran itu diam-diam didengar oleh Rasus. Tanpa diduga, saat Rasus dalam keadaan sedih, tiba-tiba Srintil menghampiri Rasus di belakang rumah dukun Kertareja. Srintil memohon pada Rasus untuk menidurinya waktu itu. Setelah Rasus selesai meniduri Srintil barulah Dower dan Sulam datang.
Setelah Rasus selesai meniduri Srintil, ia pergi meninggalkan dukuh Paruk dan Srintil yang sangat ia cintai dan dibencinya saat itu, karena Srintil sudah menjadi milik semua orang. Kemudian Rasus pergi ke desa Dawuran untuk mengasingkan diri. Rasus mencoba menyingkirkan bayangan Srintil dari dalam dirinya. Ketika Srintil datang untuk meminta Rasus menjadi suaminya, Rasus menolak dengan tegas karena ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Srintil menjadi milik orang banyak untuk menjadi ronggeng yang membanggakan Dukuh Paruk. Tetapi, keputusan itu dan semua peristiwa yang telah terjadi pada diri Srintil justru membuat ia menjadi gila pada akhirnya.
Makna dari novel ini yaitu menceritakan kehidupan seorang perempuan yang menjadi ronggeng. Sehingga perempuan itu harus rela kehilangan keperawanannya untuk pria manapun yang mampu membayarnya dengan tarif tinggi. Ia harus menjadi seorang ronggeng yang disukai semua orang meskipun ia harus mengabaikan kekasih hatinya.
Dilihat dari aspek budaya, novel ini menceritakan tentang kesenian ronggeng yang berada di daerah Jawa. Kesenian ronggeng tersebut telah hampir menghilang karena tidak ada lagi seorang ronggeng yang menghidupkan kembali Dukuh Paruk. Setelah sekian lama mereka menunggu datangnya ronggeng. Srintil pun dinobatkan sebagai ronggeng dan melaksanakan upacara budak kelambu.
Adanya aspek psikologis yang tampak dalam perilaku tokohnya yaitu Srintil yang akhirnya menjadi gila karena diusianya yang masih dini, ia harus menjadi seorang ronggeng yang harus bersedia menjadi milik banyak orang. Selain itu, juga karena ia ditinggalkan oleh Rasus, kekasih yang sangat disayangi dan dicintainya.
Dilihat dari aspek moral, dapat dilihat dalam novel ini tampak pada perilaku tokoh-tokohnya seperti Rasus, Dower, Sulam dan pria-pria yang lain yang meniduri Srintil secara bergilir. Sedangkan dari aspek politik tampak pada perilaku tokoh Dower dan Sulam yang menyuap Ki Kertareja untuk memenangkan sayembara dengan menyerahkan seringgit uang emas oleh Sulam dan seekor kerbau dan dua rupiah perak oleh Dower.


Judul Buku : Merahnya Merah
Penulis : Iwan Simatupang
Penerbit : CV. Haji Masagung
Tahun terbit : 1968
Tebal buku : 162 halaman

Merahnya merah adalah novel yang paling banyak dibicarakan oleh pengamat sastra, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan selalu mendapat tanggapan yang positif.
Novel ini menceritakan di sebuah kota besar muncul seorang Tokoh Kita dalam komunitas gelandangan. Sebelumnya Tokoh Kita ini mempunyai sejarah kehidupan yang panjang. Sebelum meletusnya revolusi fisik, ia adalah seorang laki-laki calon rahib. Saat revolusi ia menjadi algojo yang bertugas untuk memenggal kepala para pengkhianat yang tertangkap. Namun, setelah revolusi ia masuk rumah sakit jiwa. Dalam komunitas gelandangan Tokoh Kita mendapat cukup perhatian, dia dihormati dan dicintai oleh para anggota gelandangan lainnya.
Di dalam komunitas gelandangan muncul wanita bernama Maria yang memiliki perhatian terhadap Tokoh Kita. Maria memiliki masa lalu yang suram, ia juga pernah diperkosa. Keduanya menjalin hubungan yang mesra. Namun, setelah Tokoh Kita membawa Fifi untuk masuk ke dalam komunitas gelandangan, sikap Maria sering marah dan cemburu melihat keakraban antara Tokoh Kita dengan Fifi. Fifi adalah seorang gadis yatim piatu berusia 14 tahun yang menjadi seorang pelacur. Dari awal Maria tidak menyukai Fifi masuk ke keluarga mereka.
Suatu hari Fifi menghilang dan semua gelandangan pun resah. Akhirnya Pak Centeng putus asa karena Tokoh Kita juga menghilang diikuti dengan menghilangnya Maria, itu membuatnya malu karena gagal mencari Fifi dan Tokoh Kita serta Maria. Beberapa hari kemudian Tokoh Kita muncul tetapi tidak bersama dengan Fifi dan Maria. Semua orang di komunitas gelandangan bertanya kepada Tokoh Kita dimana Fifi dan Maria berada. Ternyata Fifi hilang karena telah dibunuh oleh Maria karena ia merasa iri dan cemburu. Akhirnya Maria masuk biara dengan bertaubat.
Bagi para gelandangan kabar yang disampaikan oleh Tokoh Kita itu membuat mereka merasa terharu dan lega. Namun, Pak Centeng sangat marah kepada Tokoh Kita. Dia menganggap Tokoh Kita yang menyebabkan terjadinya semua keadaan ini. Pak Centeng sangat marah dan ia mencabut goloknya dan diarahkan ke kepala Tokoh Kita. Tetapi saat Pak Centeng ingin menebas leher Tokoh Kita, polisi datang dan mengacungkan pistol mereka ke arah Pak Centeng. Pak Centeng tetap nekat dan menebas leher Tokoh Kita. Bersamaan dengan kejadian itu, polisi pun langsung menembak Pak Centeng. Akhirnya keduanya meninggal bersamaan dan dimakamkan dengan upacara militer yang dihadiri oleh Pejabat Tinggi Negara.
Makna dalam novel ini adalah kehidupan di sebuah kota besar dengan komunitas gelandangan. Persahabatan dan kekompakan yang dirasakan dalam komunitas itu, tapi semua berakhir dengan kedatangan anggota baru yaitu Fifi. Tokoh Kita pun manyukai Fifi. Maria, yang disukai Tokoh Kita sebelumnya merasa cemburu dan membunuh Fifi. Kemudian ia menjadi biarawati untuk menebus dosanya. Tokoh Kita pun meninggal karena dibunuh oleh Pak Centeng yang merasa marah kepada Tokoh Kita. Dia pun meninggal ditembak polisi.
Dilihat dari aspek sosial, tampak pada perilaku tokoh-tokohnya yaitu adanya persahabatan dan kekompakan dalam komunitas gelandangan. Sedangkan dari aspek psikologis dan moral tampak pada perilaku Maria yang merasa marah, iri dan cemburu karena melihat Tokoh Kita menyukai Fifi dan akhirnya ia membunuh Fifi. Selain itu, juga tokoh Pak Centeng yang marah terhadap Tokoh Kita dan membunuhnya.
Dilihat dari aspek religi tampak pada tokoh Maria yang berubah menjadi seorang biarawati untuk menebus dosanya karena telah membunuh Fifi.


Judul Buku : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun terbit : 2005
Tebal buku : 534 halaman

Laskar pelangi merupakan novel bagian pertama dari novel tetralogi karya Andrea Hirata. Novel keduanya yaitu Sang Pemimpi, ketiga Edensor dan yang keempat Maryamah Karpov. Novel ini mendapat tanggapan yang positif dari beberapa sastrawan. Novel ini juga disukai oleh banyak kalangan.
Novel ini menceritakan sebuah daerah di Belitong dimana terdapat sebuah sekolah terpencil yang bahkan tak tersentuh tangan pemerintah. Sekolah itu adalah sekolah Muhammadiyah. Bertahan demi pendidikan rakyat miskin. Pengorbanan dari satu-satunya pengajar yang bertahan demi kemajuan pendidikan ilmu dan agama untuk anak-anak tidak mampu, ia adalah Ibu Mus dan ketabahan sang kepala sekolah yang terkadang merangkap sebagai guru, Pak Harfan. Mereka telah berhasil mencetak manusia-manusia yang sukses dalam berperilaku social yang baik, berkeagamaan yang baik.
Persahabatan sepuluh orang anak miskin yang diberi nama oleh Ibu Mus sebagai Laskar Pelangi. Mereka adalah Ikal, Mahar, Lintang, Harun, Syahdan, A Kiong, Trapani, Borek, Kucai, dan Sahara. Mereka sudah bersama sejak mereka memulai bangku sekolah. Banyak hal yang mereka lalui bersama. Kemiskinan bukan hal yang bisa merusak masa anak-anak mereka.
Kisah percintaan anatara Ikal dengan seorang Tionghoa sepupu A Kiong bernama A Ling yang berawal dari pembelian kapur tulis. Kesabaran Ikal untuk bisa mendapatkan kekasih hatinya sampai ketegaran Ikal saat A Ling harus meninggalkannya.
Siapa yang menyangka bahwa sekolah terpencil Muhammadiyah bisa berbuah dua orang genius di bidang yang berbeda. Ia adalah Lintang, Sang ilmuwan cilik dan seorang kuli kopra cilik yang dengan senang hati bersepeda 80 km pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu walaupun harus melalui hambatan dan Mahar, Sang seniman sejati. Banyak yang mereka lakukan untuk mengubah citra sekolah Muhammadiyah di mata masyarakat elite.
Mahar, seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya berhasil mengangkat derajat sekolah kampong mereka dalam karnaval 17 Agustus. Tak ada yang menyangka pula bahwa Mahar, semakin hari semakin tertarik pada ilmu mistik alam gaib. Karena suatu hal, membawa ia pada pertemuan dengan seorang anak perempuan tomboy bernama Flo. Karena tertarik pada bidang mistik yang dimiliki oleh Mahar, Flo akhirnya meninggalkan segala kemewahan sekolah PN dan pindah ke sekolah Muhammadiyah. Begitu juga dengan Lintang bersama Ikal dan Mahar mengangkat derajat sekolahnya melalui lomba cerdas cermat. Mereka berhasil mengalahkan sekolah PN karena kegeniusan Lintang. Tapi, ternyata nasib selanjutnya berkehendak lain. Ayah Lintang meninggal dunia dan ia terpaksa harus menghentikan pendidikannya di sekolah Muhammadiyah atak ada biaya.
Makna yang dapat diambil dari novel ini adalah bahwa kemiskinan tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pintar dan genius serta kemiskinan mampu membawa ketegaran dalam hidup.
Dilihat dari aspek pendidikan, tampak pada keadaan sekolah Muhammadiyah yang terpencil yang tak tersentuh tangan pemerintah, tetapi mampu melahirkan anak-anak yang genius seperti Lintang dan Mahar.
Dilihat dari aspek ekonomi, terlihat pada keadaan Lintang yang hanya kuli kopra cilik dan harus putus sekolah karena tidak ada biaya dan Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa serta sahabat-sahabatnya, menandakan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Tetapi kegigihan mereka, kemiskinan tak merusak masa anak-anak dan cita-cita mereka.
Dilihat dari aspek sosial, tampak pada persahabatan 10 anak yang luar biasa dan kebersamaan mereka dalam menimba ilmu. Sedangkan dilihat dari aspek religi, tampak pada tokoh-tokohnya yang jujur, sabar, takwa dan tawakal dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup.


Judul Buku : Para Priyayi
Penulis : Umar Kayam
Penerbit : Pustaka Utama Grafiti
Tahun terbit : 1992
Tebal buku : 308 halaman

Novel ini menceritakan tentang Wage anak desa yang berasal dari desa Wanawalas. Sejak dalam kandungan ia telah menjadi anak yatim. Kehidupan desa wanawalas yang diliputi kemiskinan membuat Wage menjadi anak yang memiliki kepribadian lugu dan penurut. Ia rajin membantu ibunya menjual tempe. Ketika Wage berusia 6 tahun, Ibunya menyerahkan Wage kepada langganannya yaitu kepada keluarga Sastradarsono yang tinggal di desa Wanagalih. Keluarga Sastradarsono adalah keluarga priyayi. Sastradarsono dulu berasal dari keluarga yang kurang mampu yang akhirnya Sastradarsono dipelihara dan dirawat oleh keluarga priyayi juga. Hingga akhirnya Sastradarsono bisa menjadi guru sekaligus seorang priyayi.
Sastradarsono pun mengubah nama Wage, namanya diganti menjadi Lantip, karena nama tersebut dipandang lebih bermakna dan lebih pantas untuk hidup di lingkungan priyayi. Walaupun Lantip hanyalah anak titipan namun Sastradarsono senantiasa memperlakukannya dengan baik. Selain itu, ia mendapat perhatian cukup. Lantip juga dididik dalam keluarga dan di sekolah hingga Lantip bisa menjadi seorang yang berhasil masa depannya.
Di dalam keluarga Sastradarsono banyak peristiwa suka maupun duka yang telah dirasakan oleh Lantip. Suasana duka dan kenyataan pahit yang ia juga mengetahui bahwa Bapaknya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Sastradarsono. Tetapi Bapaknya bukan seorang priyayi seperti yang ia kira. Justru Bapaknya meninggal dengan menyandang nama buruk karena ia merupakan salah satu anggota perampok. Tetapi suasana yang dirasakannya di keluarga besar Sastradarsono membuatnya dapat mengobati luka dan kekecewaan dihatinya.
Sastradarsono adalah pemimpin keluarga yang sangat beruntung karena memiliki anak dan istri yang patuh dan taat padanya. Kebahagiaan Sastradarsono dilengkapi dengan hadirnya tiga orang anak yang sangat berbakti dan membanggakannya. Nugroho, anak pertamanya menjadi tentara yang berpangkat kolonel karena masa remajanya menjadi anggota Tentara Pelajar. Keluarganya kaya, modern, dan metropolis. Hardojo, anak keduanya menjadi guru dan setelah gagal menikah dengan pacarnya yang beragama katholik akhirnya menyunting murid SD-nya sendiri bernama Sumarti dan dikaruniai seorang anak bernama Harimurti. Sementara, Sumini, anak ketiganya juga menjadi guru. Ia menikah dengan seorang priyayi sekaligus darah biru yang mapan.
Lantip kemudian diangkat menjadi anak Hardojo. Harimurti mula-mula tidak begitu menyukai Lantip tetapi lama-kelamaan dia sangat menyayangi Lantip. Begitu juga dengan keluarga Satradarsono yang memandang Lantip sebelah mata karena ia hanya anak angkat, tetapi pengabdiannya yang tulus mampu mematahkan pandangan itu. Lantip, sesuai namanya yang bermakna pintar atau cerdas menjadi karakter penolong tanpa pamrih. Ia tak pernah merasa lelah, supel dan berani berkata jujur. Lantip mampu membantu menyelesaikan persoalan dalam keluarga Sastradarsono. Lantip menjadi pahlawan meski hidupnya sendiri tak pernah menjadi sejahtera secara materi. Perkawinannya dengan Halimah menggambarkan sebuah kisah cinta yang indah, namun sampai akhir cerita mereka hidup sederhana berdua tanpa dikaruniai keturunan.
Makna yang dapat diambil dari novel ini adalah kehidupan para priyayi yang bergantung pada adat istiadat yang diyakini baik dalam norma kesopanan dan tata krama. Dilihat dari aspek sosial, novel ini mengisahkan kehidupan keluarga priyayi yang merupakan suatu tingkatan sosial dalam masyarakat Jawa yang dipandang terhormat dan agung. Ini tercermin dari tokoh Lantip yang mampu memerankan dirinya sebagai seorang priyayi. Hal itu terbukti saat keluarga Sastradarsono sedang mengalami banyak masalah Lantip mampu mengatasi serta membantu menyelesaikan permasalahan dalam keluarga Satradarsono dengan penuh pengabdian dan ketulusan.


Judul Buku : Canting
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1986
Tebal buku : 408 halaman

Novel ini menceritakan pengusaha batik merk canting di Solo yang bernama Raden Ngabehi Sastrokusumo. Dia adalah seorang keturunan priyayi, kaya, yang dihormati dan disegani oleh banyak orang. Ketika Raden Ngabehi ingin menikahi Tuginem, seorang buruh yang bekerja di pabrik tradisional batik miliknya, Keraton Surakarta geger. Tentu saja hal itu mendapat tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi karena Tuginem tidak berasal dari keluarga priyayi. Meskipun demikian, ia tetap menikah dengan Tuginem. Rumah tangga mereka pun bahagia dan harmonis.
Setelah menikah Tuginem dipanggil dengan sebutan Bu Bei yang secara diam-diam telah membantu usaha suaminya itu. Karena kerja kerasnya uasaha batik merk canting milik mereka berkembang pesat. Walaupun Bu Bei seorang wanita pekerja keras, ia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan penuh kasih sayang. Oleh sebab itu, keenam anaknya tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Wahyu Dewabrata menjadi seorang dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewikusuma menjadi Insinyur, Wening Dewamurti menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta Subandini Dewaputri menjadi seorang Sarjana Farmasi.
Ketika usia Bu Bei yang ssemakin tua, tidak mampu lagi mengurus usaha batik dan menangani pedagang di pasar Klewer Solo dan menjajakan batik cantingnya mulai menurun. Padahal pada saat itu batik canting mereka mulai mendapat saingan dari produk batik pabrik besar dan modern. Kemudian Subandini Dewaputri mempunyai ide untuk mengambil alih dan membangkitkan kembali usaha keluarganya. Namun, niatnya itu ditentang oleh semua kakaknya. Tetapi perselisihan itu dapat diselesaikan oleh Raden Ngabehi dengan bijaksana. Tidak lama kemudian Bu Bei meninggal dunia. Kemudian usaha batik itu diambil alih oleh Subandini. Dengan semangat ia melakukan persaingan dengan batik keluaran pabrik besar dan modern, tetapi ia kalah bersaing. Penjualan batik mereka merosot. Akhirnya ia jatuh sakit dan hamper meninggal. Akhirnya ia memahami mengapa usaha batiknya tidak dapat bersaing dengan batik keluaran pabrik yang modern. Dengan keteguhan hatinya ia memutuskan untuk mengganti nama batik canting menjadi batik canting daryono. Dengan nama baru ia meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
Tidak lama kemudian usahanya maju pesat dan dapat bersaing dengan batik pabrik besar dan modern. Dengan bantuan semua kakaknya, batik mereka mulai dikenal tidak hanya dalam negeri tetapi juga mulai dilirik oleh turis asing. Akhirnya Subandini menikah dengan Hermawan, pria pilihan hatinya. Kemudian pests pernikahan mereka diadakan tepat setahun meninggalnya Bu Bei, pengelola batik canting yang melengendaris dalam keluarga besar Sastrokusumo.
Makna yang dapat diambil adalah kehidupan sebuah keluarga yang hidup mempertahankan kebudayaan Jawa dan mempertahankan pabrik batik canting.
Dilihat dari aspek budaya, adanya kebudayaan yang berada di daerah Jawa tepatnya di kota Solo yaitu batik. Terdapat makna feminisme yang tampak dalam tokoh Bu Bei yang mampu melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang pekerja keras, menyayangi suaminya dan semua anaknya. Selain itu, juga tampak pada tokoh Subandini yang tegar, mampu menyelesaikan setiap masalah yang sedang menghadangnya, berusaha dan berkorban sekuat tenaga untuk mempertahankan usaha batik canting dengan mengganti nama merk batiknya. Pada akhirnya membuahkan hasil, usahanya tidak saja dikenal di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.


Judul Buku : Telegram
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun terbit : 1973
Tebal buku : -

Telegram adalah novel yang dianggap oleh beberapa pengarang sebagai sebuah novel yang sangat menarik karena membawa corak baru dalam cara penulisan novel di Indonesia. Novel ini mendapat hadiah pertama dalam sayembara menulis roman yang diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku 1972.
Novel ini menceritakan seorang Lelaki Bali yang mempunyai ketakutan tentang telegram. Ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampungnya di Bali. Karena sudah kebiasaan umum sepengetahuannya, bahwa semua telegram pasti isinya menggambarkan hal-hal yang istimewa, luar biasa, bersifat malapetaka. Akibat ketakutannya tentang telegram, tiba-tiba angan-angannya melayang kemana-mana. Ia merasa bahwa surat telegram itu sudah ada ditangannya, walaupun sebenarnya belum ada.
Pikirannya terus berkhayal. Dalam khayalannya itu di betul-betul menerima telegram dari kampung yang isinya bahwa ibunya meninggal dunia. Jelas dia wajib pulang. Masalahnya dia pasti wajib mengurus pengabenan ibunya, mengurus beberapa hektar tanah, tiga buah rumah dengan semua penghuninya dan tugas lainnya. Itu berarti malapetaka baginya. Semuanya wajib dilakukannya, sebab kalau tidak itu berarti dia putus hubungannya dengan keluarga. Si Lelaki bagaikan masuk dalam lingkaran setan.
Sewaktu Sinta, anak pungutnya itu menanyakan isi telegram, ia terpaksa berbohong kepada Sinta bahwa isi telegram itu adalah kabar dari Pamannya di Surabaya yang hendak dating ke Jakarta dan minta dijemput di Stasiun Gambir. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya Sinta sudah tahu isi telegram itu. Sehingga ketika Sinta mendesak, terpaksa ia mengaku apa isi telegram itu dan akhirnya keduanya sepakat untuk segera bersiap-siap pergi ke Bali.
Sebelum berangkat, tiba-tiba muncul masalah baru yaitu ibu Sinta kembali. Awalnya ia menolak permintaan ibu kandung Sinta, tetapi akhirnya pilihan diserahkan pada Sinta. Masalahnya dengan ibu kandung Sinta belum selesai, Si Lelaki mendapat masalah baru. Tiba-tiba ia merasa takut akan penyebab kesehatannya menurun, ia berpikir pasti penyakit kelamin itu datangnya dari Nurma, pelacur yang sering digaulinya itu. Ketakutannya memuncak karena ia menyaksikan sendiri seorang temannya melahirkan anak cacat karena mengidap penyakit kelamin.
Si Lelaki mengalami krisis kejiwaan. Anatara kenyataan dan khayalannya telah menyatu dalam dirinya. Tiba-tiba terngiang akan kekasihnya, Rosa, yang tiba-tiba memutuskan hubungan dengannya. Padahal Rosa sebenarnya hanyalah kekasih khayalannya. Si Lelaki itu sampai bingung membedakan mana yang riil dan irasional. Ia sendiri merasa bahwa dirinya sudah gila. Usahanya untuk mengembalikan kesadarannya pada bentuk yang semula tidak berhasil, khayalannya tetap saja muncul. Dia masih masuk dunia khayalannya. Di tengah-tengah khayalannya itu, tiba-tiba pintu diketok dan dia membukakan pintu, ternyata Bibinya yang datang dan kenyataan sesungguhnya bahwa Bibinya membawa sepucuk telegram yang isinya bahwa Ibunya telah meninggal dunia.
Dilihat dari aspek psikologis, tampak pada tokoh yang diperankan Lelaki yang merasa sangat ketakutan tentang telegram hingga ia menciptakan khayalan-khayalan dalam pikirannya. Ia menganggap bahwa isi telegram biasanya hal-hal luar biasa, bersifat malapetaka. Akibatnya, ia mengalami krisis kejiwaan dan ia sendiri merasa bahwa dirinya sudah gila.


Judul Buku : Saman
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit : 1998
Tebal buku : 208 halaman

Saman adalah novel pemenang sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel ini tak jatuh pada sebuah karya yang sekedar cerebral dan intelektual belaka, tetapi ia berhasil menyentuh emosi.
Novel ini mengisahkan Laila seorang gadis muda yang bekerja di pembuatan profil perusahaan tekstil Indonesia dan fotografer yang akan menulis buku tentang penyebaran minyak di Asia Pasifik atas nama petroleum Extension Servis. Hingga akhirnya Laila bertemu dengan Sihar dan ia pun jatuh hati pada Sihar. Akan tetapi, cinta itu terhalang oleh sesuatu yaitu istri Sihar. Walaupun Sihar sudah mempunyai istri Laila tetap mencintainya.
Beberapa saat kemudian di tambang itu ada sebuah kejadian yang merenggut nyawa para pekerja. Akhirnya Sihar minta diberhentikan dari pekerjaan itu. Kemudian Sihar pun memutuskan untuk pergi ke New York, sedangkan Laila pergi ke Amerika. Laila menunggu kabar dari Sihar tapi ia tidak pernah mendengar kabar dari Sihar. Penantiannya sia-sia, karena Sihar lebih memilih anak dan istrinya. Setelah itu mereka tidak lagi bertemu. Sedangkan Saman, orang yang dulu pernah menjadi kekasih Laila menjadi seorang pastor.
Dulu Saman nama aslinya adalah Wisanggeni. Dia pastor di Lubuk Rantau. Dia seorang yang sangat rajin dalam beribadah dan sangat menaati peraturan menjadi seorang pastor. Ia mengganti namanya karena dulunya ia menjadi buronan pemerintah Lubuk Rantau dan polisi. Ia dianggap sebagai seorang provokator yang mengkristenisasi penduduk Lubuk Rantau sehingga ia diculik oleh pemerintah Lubuk Rantau. Ia disiksa dan dianiaya sampai 15 hari. Ia disekap dan dikurung di pabrik kelapa sawit, diestrum dan dianiaya oleh para algojo. Para penduduk yang mengetahui kalau ia disekap kemudian mereka membakar pabrik itu dan Wisanggeni dilarikan ke rumah sakit. Wisanggeni dinyatakan sebagai seorang buronan. Akhirnya Wisanggeni melarikan diri dan mengganti namanya menjadi Saman. Di akhir hidupnya ia tidak percaya lagi dengan adanya Tuhan dan kepastoran.
Makna dari novel ini adalah kehidupan Wisanggeni yang selalu ditimpa masalah dalam kehidupannya. Dilihat dari aspek religi, tampak pada tokoh yang diperankan Wisanggeni atau Saman yang dulunya seorang pastor yang sangat percaya kepada Tuhan tetapi di akhir hidupnya ia sangat ingkar dan ragu kepada Tuhan. Sedangkan dilihat dari aspek gender, adanya persamaan gender anatara wanita dan pria. Hal itu tampak pada tokoh Laila yang mempunyai dua pekerjaan yaitu sebagai pembuat profil dalam perusahaan tekstil dan sebagai satu-satunya pekerja wanita dalam proyek pengeboran minyak di Asia Pasifik yang bernama Petrolium Extension Servis. Laila mampu bekerja seperti layaknya para pekerja lainnya yang semuanya adalah laki-laki.


Judul Buku : Jangan Main-main dengan Kelaminmu
Penulis : Djenar Mahesa Ayu
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2004
Tebal buku : 200 halaman

Novel ini menceritakan seorang laki-laki mapan yang berselingkuh dengan wanita lain yang lebih muda dan cantik karena ia merasa bosan dengan istrinya. Laki-laki itu melakukan pengakuan bahwa selama 5 tahun ia menjalin cinta dengan wanita lain. Bagi pria mapan dan pacarnya itu hubungan mereka tidak hanya sekedar main-main apalagi sebatas hasrat seksual. Hanya membutuhkan beberapa waktu saja pria mapan itu sebenarnya mampu melakukan perselingkuhan tetapi ia justru telah melakukannya selama 5 tahun. Sahabat pria mapan itu, pacar pria mapan serta istri pria mapan itu mampu mengungkapkan hal yang sama, mungkin ia juga merasakan hal yang sama bahwa ada pengkhianatan dibalik semua peristiwa itu.
Pria mapan itu berselingkuh karena merasa bosan dengan istrinya yang sudah semakin tua sehingga tubuhnya sudah tidak begitu menarik perhatiannya. Meskipun istrinya ingin berusaha mengubah penampilannya tetapi semua itu hanya sia-sia. Pria mapan itu menjadi tidak betah tinggal di rumah. Ia lebih suka pergi bekerja, berlama-lama di jalan dan terjebak kemacetan untuk menghilangkan rasa bosan itu.
Akhirnya istri pria mapan itu sadar bahwa perubahan buruk yang terjadi pada dirinya itu yang membuat bosan suaminya. Hal itu disebabkan oleh keadaan dirinya yang terlalu lelah menjadi ibu rumah tangga, sehingga membuat hubungan dirinya dengan suami justru menjauh.
Hal yang membuat pria mapan itu heran adalah ketika istrinya hamil. Padahal ia hanya menyentuhnya sekali dalam tiga samapai lima bulan karena ia kasihan. Mungkin hubungan mereka akan baik-baik saja setelah punya anak dan perkawinan mereka bisa terselamatkan. Sehingga mereka bersyukur atas karunia itu karena jalan untuk menata dan memiliki kembali rumah tangganya telah terbuka lebar. Akhirnya pria mapan itu meminta kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya karena ia telah lama bermain-main.
Dilihat dari aspek psikologis dalam novel ini tampak adanya manusia yang terluka, terkhianati karena tidak memiliki pijakan yang kokoh sehingga komitmen dapat berubah setiap saat, adanya ikatan yang tidak mengikat.
Makna dari novel ini adalah pria mapan yang akhirnya sadar ketika mengetahui bahwa istrinya hamil dan mampu menentukan pilihannya untuk meminta kesempatan lagi pada istrinya untuk memperbaiki kesalahannya karena ia merasa menyesal telah melakukan hal yang sia-sia selama bertahun-tahun.
Judul Buku : Khotbah di atas Bukit
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun terbit : 1976
Tebal buku : -

Novel Khotbah di Atas Bukit dalam kacamata semiotik mempunyai tanggapan yang positif. Novel ini menjadi novel yang enak dibaca karena dalam setiap perilaku tokoh-tokohnya dan kejadian-kejadian yang ada dalam setiap peristiwa yang dirangkai syarat dengan aksi dan peristiwa, penuh dengan ketegangan dan kejutan.
Novel ini menceritakan Barman seorang laki-laki tua pensiunan pegawai negeri yang hidup bersama anaknya yang bernama Bobi. Anaknya menyuruh Barman untuk mengisi harinya di sebuah villa di daerah perbukitan karena Barman ingin mencari ketenangan hidup dalam menghabiskan masa-masa tuanya. Di sana ia menemukan jodoh lagi. Seorang wanita bernama Popi yang dipilihkan anaknya. Popi dulunya adalah seorang kupu-kupu malam. Mereka pun akhirnya menikah. Mereka sangat bahagia walaupun Barman tidak bisa mencukupi kebahagiaan dalam hubungan yang lebih khusus. Akan tetapi, Popi tidak mempermasalahkan hal itu.
Suatu hari Barman bertemu dengan Humam seorang laki-laki yang mirip dengannya. Dia hidup dalam kesepian dan meninggalkan keramaian. Barman dan Humam sangat akrab hingga mereka menjalin persahabatan. Tetapi Barman merasa bingung setelah mendapatkan pelajaran dari Humam yang mengatakan bahwa milikmu adalah belenggumu. Setelah lama berpikir, Barman pun merasa bersalah karena meninggalkan Popi. Tak lama kemudian Humam meninggal. Setelah kematian Humam, Barman menjalankan ajaran Humam secra misterius. Barman pun menyebarkan ajaran dari Humam itu kepada penduduk sekitarnya. Penduduk pun datang dan bertambah pula kedatangannya untuk meminta petunjuk kepadanya. Tetapi orang-orang sampai di bukit, Barman justru merasa bingung harus berbicara apa dengan orang-orang itu.
Akhirnya ia mampu mengucapkan khotbahnya dengan mengatakan bahwa “Hidup ini tidak berharga untuk dilanjutkan, maka bunuhlah dirimu”. Mendengar pernyataan dari Barman tersebut membuat semua orang ricuh. Sebagai konsekuensi dari khotbahnya, Barman pun bunuh diri tanpa sepengetahuan orang-orang disekitarnya dengan cara terjun ke jurang. Setelah Barman meninggal Popi pun meninggalkan rumah itu. Ia menemui seorang laki-laki dan melepaskan hasratnya yang selama ini ia pendam pada orang yang disayanginya.
Dalam novel ini ada aspek psikologis yang tampak dalam perilaku tokoh-tokohnya. Barman bahagia hidup bersama Popi tetapi ia juga merasa gelisah karena ia selalu gagal dalam menikmati malam bersama Popi. Setelah Barman bertemu Humam, ia merasa bingung setelah mendapatkan pelajaran dari Humam dan merasa bersalah karena meninggalkan Popi. Selain itu, Barman merasa bingung harus berbicara apa ketika penduduk sekitar berbondong-bondong mengunjungi rumahnya untuk meminta petunjuk. Akhirnya Barman mengucapkan khotbah bahwa “Hidup ini tidak berharga untuk dilanjutkan, maka bunuhlah dirimu”. Setelah itu Barman pun bunuh diri tanpa sepengetahuan orang-orang. Makna yang dapat diambil adalah bahwa orang menjalani hidup itu tergantung pada diri masing-masing. Jalan untuk menuju kepada-Nya juga masing-masing. Maka, jadilah diri sendiri yang mengerti tentang segala perintah dan larangan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar